Add caption |
Apa sebetulnya yang
dicari oleh dua raja dari Thailand di Curug Dago? Tak ada yang bisa memastikan.
Yang jelas ada dua prasasti yang menandai kedatangan mereka ke curug itu. Prasasti
pertama tertulis sebagai berikut, “Raja Rama berkunjung ke Bandung saat berumur
34 tahun, sebagai peringatan ibu kota Kerajaan Thai Ratanakosin”. Raja Thailand
itu diperkirakan datang ke Curug Dago pada tahun 1902. Prasasti itu juga
dihiasi dengan tapak kaki, tangan dan bintang segilima. Prasasti kedua
menandai kedatangan cucu Raja Rama 27 tahun kemudian. Prasastinya tertulis,
“Prajatipok Paramintara. Tahun Budha 2472 (tahun 1929).
Pada tahun 1991.
Kerajaan Thailand meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk memberikan
pengamanan dan melestarikan prasasti tersebut. Lalu dibuatkanlah semacam saung
yang melindungi dua prasasti itu. Saya tak bisa membayangkan kalau itu tidak
dilindungi saung-saungan. Tahu kan, bagaimana sadisnya budaya vandalisme
pengunjung kita.
Curug Dago, masih
terletak dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda atau yang lebih
dikenal dengan kawasan Tahura Dago atau orang setempat mengenalnya dengan nama
Pakar. Untuk sampai di kawasan ini, Anda dapat masuk dari tiga arah. Bisa
melalui jalan di seberang terminal Dago.Jalan kedua dari Taman Budaya. Jalan
ketiga bisa lewat Jl. Dago pojok, masuk dari tempat yang dikenal orang dengan
nama Tanggulan.
Sebetulnya untuk
mencapai Curug Dago, anda bisa menggunakan motor namun anda tetap harus
berjalan kaki, menuruni tangga batu yang jika hujan turun menjadi licin,
sehingga Anda pun harus ekstra berhati-hati agar tidak terpeleset. Pegangan
besi tangga nyaris tidak lagi ada entah karena patah atau dipatahkan dengan
sengaja.
Buat saya sendiri, curug
dengan ketinggian 15 meter ini adalah salah satu tempat bermain waktu kecil
dulu. Pada masa SD tahun 80-an, Beberapa kali saya diajak saudara-saudara untuk
berenang di aliran sungai Ci Kapundung itu. Saya masih ingat ketika hanyut di
Ci Kapundung saat mencuci karpet kakek saya. Untung saja saat itu ditolong oleh
salah satu pegawai yang pandai berenang. Saat itu tentu saja airnya masih
jernih dan bersih. Tak seperti sekarang yang kotor dan bau.
Karena di kawasan hulu
sungai Ci Kapundung ini banyak kawasan penduduk dan peternakan yang limbahnya
dibuang langsung ke sungai, maka airnya menjadi kotor, bau dan banyak sampah.
Meskipun begitu kawasan ini masih menyisakan pesonanya yang membuat wisatawan
datang berkunjung.
Di sisi kanan air terjun
terdapat dua bangunan bercat merah. Itulah tempat semedi dan prasasti raja
Thailand. Dari teras atas untuk ke bawah memang perlu berhati-hati. Selain
terjal, jalan berbatu itu sangat licin karena tersiram oleh deburan air terjun
Curug Dago atau dari tetesan air dari tebing di sebelah kanannya.
Tak banyak yang
berjualan di Curug Dago, oleh karenya bagi yang akan main ke curug ini
sebaiknya membawa perbekalan lengkap. Tapi ingat, keep your environment
clean yaaa. Jangan nyampah atau merusak kekayaan alam dan sejarah ini.
Sampai di tempat
persemedian, sambil ditemani suara deburan air menghunjam dan melemparkan butiran-butiran lembut air, kiranya kita boleh mereka-reka, gerangan apakah yang membuat
tempat itu menjadi tempat semedi dua raja dari Thailand. Tahun 1902,
Bandung juga masihlah kota kecil. pastilah tak banyak yang tinggal
di Curug Dago.Keindahannya atau ada aura spiritual nya?
Kukuyaan, salah satu upaya menjadikan Ci Kapundung yang ramah |
Komentar
Posting Komentar